www.eric-senjaya.co.nr


FaceBook Nadine Candrawinata
28 Juli 2012, 14:34
Filed under: Geulis | Tag: ,

Facebook Nadine.. Disini

Ia dikenal masyarakat lewat ajang Putri Indonesia 2005. Saat itu Ia diutus propinsi DKI Jakarta. Bahkan, Ia berkesempatan mewakili Indonesia bertarung di Miss Universe 2006 yang berlangsung di Shrine Auditorium, Los Angeles, Amerika Serikat. Ia berhasil meraih juara kedua untuk Budaya Nasional Terbaik dan Putri Persahabatan.
Siapa lagi kalau bukan Nadine Chandrawinata. Perempuan keturunan Indonesia-Jerman ini, mengenakan gaun tradisional ala Ratu Kencono Wungu atau Tribhuwana Wijayatungga di Miss Universe itu.
Akibat keikutsertaannya dalam acara dunia itu, Bintang film REALITA, CINTA DAN ROCK’N ROLL (2006) ini didemo Mujahidah (anggota FPI) ke Polda Metro Jaya pada 19 Juli 2006. Nadine dituduh melanggar pasal 281 KUHP tentang kesusilaan dalam keikutsertaanya di ajang Miss Universe 2006.
Pemilik tinggi badan 174 cm yang juga kakak bintang sinetron kembar Marcel dan Mischa Chandrawinata ini masih tercatat sebagai mahasiswi London School.
(Eric Senjaya/Sumber:KPL)



Implementasi Teknologi Ramah Lingkungan di Rumah (Media Indonesia)

Oleh : Eric Senjaya (Praktisi Lingkungan Kab. Purwakarta)
Tanggal : 22 Mei 2010

“KETIKA air terakhir sudah diminum, ketika ikan terakhir sudah dimakan, ketika pohon terakhir sudah ditebang, kelak manusia akan menyadari bahwa uang bukanlah segalanya.”

Pepatah Indian kuno ini sedikitnya memberi gambaran akan pentingnya menjaga kelestarian sumber daya alam bagi kelangsungan hidup manusia. Baik sumber daya alam hayati maupun non hayati, yang bisa diperbarui atau tidak, semuanya harus dikelola dengan baik.

Masih segar dalam ingatan kita tentang Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNCCC) di Bali dua tahun silam. Salah satu catatan yang perlu digarisbawahi dari konferensi itu adalah keinginan negara-negara berkembang untuk mendapatkan teknologi ramah lingkungan untuk mengurangi emisi guna mencegah pemanasan global.

Secara singkat, Teknologi Ramah Lingkungan (TRL) adalah aplikasi teknologi yang menggunakan sumber daya lingkungan yang lebih efisien.  TRL menggunakan bahan baku material dan energi lebih efisien, mengeluarkan limbah lebih sedikit, serta dampak yang ditimbulkan relatif lebih kecil dari teknologi yang ada.

Kendati kini kemajuan TRL masih menjadi barang langka dan didominasi negara-negara maju, kita tak perlu khawatir. Kita bisa menerapkan TRL di rumah secara sederhana. Kita bisa memulainya dari makanan.

Usahakan mengonsumsi makanan dengan wadah yang bisa dipakai ulang. Memang, makanan kemasan terlihat praktis, tahan lama, dan tampak lebih cantik.  Namun, akan lebih bijak jika sampah kemasan makanan ini dapat dikurangi. Sebagai catatan, penyumbang terbesar sampah saat ini berasal dari kemasan makanan.

Dari makanan meluas ke rumah tinggal yang ramah lingkungan (eco house). Konsep eco house dimulai dengan hal-hal sederhana semisal penghematan listrik, air, serta pembuangan limbah rumah tangga yang tidak dialirkan langsung ke got melainkan menggunakan peresapan sendiri. Demikian pula penggunaan bahan yang bisa digunakan kembali seperti mengganti tissue dengan kain lap atau sapu tangan.

Selain itu, hindari penggunaan barang yang mengandung CFC. Sebab, penggunaan CFC bisa merusak lapisan ozon di atmosfer. Biasanya CFC digunakan pada kulkas dan pewangi ruangan. Tak ketinggalan, pilah sampah di dapur sesuai jenisnya yaitu sampah organik dan anorganik. Sampah organik dibuat kompos, sementara sampah anorganik dijual ke pengepul.

Kemudian, gunakan aspek energi yang ramah lingkungan yaitu energi matahari. Mengeringkan cucian di terik matahari lebih ramah lingkungan ketimbang menggunakan mesin pengering. Selain itu, gunakan sel surya yang mampu menghasilkan listrik dari energi matahari sehingga mengurangi penggunaan listrik dari PLN.

Tak hanya itu, desain rumah pun harus menghemat energi. Dengan sistem ventilasi dan penataan taman yang tepat mampu menghemat penggunaan listrik pada lampu dan pendingin ruangan.

Aspek yang tak kalah penting adalah transportasi. Alat transportasi paling ramah lingkungan adalah sepeda.  Belakangan, para pejabat di lingkungan pemerintah daerah di Jawa Barat tengah mengampanyekan penggunaan sepeda untuk menghemat energi. Selain sepeda yang dikayuh, sudah banyak dikembangkan sepeda yang memiliki sel surya untuk menyerap energi matahari sehingga mampu menempuh jarak ribuan kilometer.

Jelas bahwa sebenarnya banyak yang bisa dilakukan untuk menjadikan rumah menjadi lebih ramah lingkungan. Kemajuan teknologi harus senada dengan peningkatan kesadaran pada lingkungan. Bila kita ramah terhadap lingkungan, niscaya lingkungan pun ramah kepada kita. (*)

http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzI5NA==

 



Mengelola Air Hujan dengan Sumur Resapan (Media Indonesia)
28 Juli 2012, 14:22
Filed under: Lingkungan Hidup | Tag: , ,

Oleh : Eric Senjaya (Praktisi Lingkungan Kab. Purwakarta)
Tanggal : Minggu, 23 Mei 2010

MUSIM kemarau susah air, saya mengantre membeli air. Musim Hujan, kebanjiran, saya mengungsi. Kenapa terjadi seperti ini?

Ya. Kondisi seperti inilah yang kerap terjadi di Kota besar. Tak hanya di Bandung, keadaan serupa terjadi di beberapa kota besar seperti Jakarta dan kota lainnya. Salah satu penyebab, kurangnya area resapan air.

Di musim penghujan, tanah di kota yang hampir seluruhnya dilapisi semen dan aspal membuat air hujan tak bisa merembes dengan lancar ke dalam tanah. Kota tak ubahnya seperti bak penampung air raksasa. Kondisi ini diperparah dengan minimnya daerah resapan air seperti taman dan ruang terbuka hijau.

Tak selesai sampai di situ. Masalah lain muncul di musim kemarau. Penyerapan air yang kurang maksimal di musim hujan tadi membuat cadangan air tanah pun menjadi sedikit. Alhasil, warga sukar memperoleh air tanah di musim kemarau. Dalam kondisi ekstrem, terkadang di musim hujan pun masih sulit mendapat air bersih. Bila ini dibiarkan, tentu kita mengalami krisis air bersih yang tanda-tandanya belakangan sudah terasa.

Sebab itu, pemerintah melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI mendengungkan Gerakan Sumur Resapan. Gerakan yang terdiri dari membuat parit resapan, area resapan, dan sumur resapan ini cukup mudah diterapkan di perumahan warga kota.

Sumur Resapan adalah sistem resapan buatan yang bisa menampung air hujan baik berupa sumur, parit maupun taman resapan. Cara membuatnya dibedakan menurut kondisi rumah dan lingkungannya. Yaitu sumur resapan untuk rumah bertalang air, rumah tak bertalang air, dan sumur resapan untuk area terbuka atau taman.

Untuk rumah bertalang air, pembuatan sumur resapan bisa dilakukan di lokasi yang berjarak satu meter atau lebih dari pondasi rumah dan dekat dengan lokasi talang pembuangan air hujan. Setelah ditentukan lokasi yang tepat, buat sumur dengan diameter 80 hingga 100 cm sedalam 1,5 meter tetapi jangan melebihi muka air tanah.

Untuk memperkuat dinding tanah, masukkan besi beton tiga buah dengan panjang masing-masing 50 cm. Jika tidak ada besi beton, dapat digunakan batu bata.

Air hujan yang keluar dari talang air dimasukkan ke dalam sumur resapan melalui pipa pemasukan. Tak ketinggalan, pada sumur resapan diberi pipa pembuangan ke selokan atau drainase jalan agar air tidak meluap. Ketinggian pipa pembuangan harus lebih tinggi dari drainase jalan itu.

Kemudian, lubang sumur resapan diisi batu koral setebal 15 cm dan bagian atas sumur resapan ditutup dengan plat beton. Di atas plat beton penutup ini dapat dimodifikasi menjadi taman atau dipasang pot-pot tanaman agar tampak cantik.

Sementara itu, bila rumah anda tak bertalang air, tak perlu khawatir. Bisa digunakan tambahan parit dengan lubang biopori dan bak kontrol sebelum air masuk ke sumur resapan.

Caranya, Anda bisa membuat parit sepanjang curahan air hujan dari atap dengan lebar 20 hingga 30 cm dengan kedalaman 10 hingga 15 cm. Di dalam parit, buat sepuluh lubang resapan biopori dengan jarak merata sepanjang parit. Lubang resapan biopori dibuat menggunakan bor biopori sedalam kurang lebih 1,5 meter.

Apabila jarak parit pendek sehingga jumlah lubang resapan biopori tidak terpenuhi, maka curahan air hujan dari atap dapat dihubungkan dengan sumur resapan yang mempunyai bak kontrol sebagai penyaring endapan. Lubang resapan berpori tersebut ditutup dengan saringan sebelum ditimbun batu koral.

Terakhir, bila dirumah anda memiliki areal terbuka atau taman, pembuatan area resapan pun bisa dilakukan. Caranya, di halaman atau taman rumah dibuatkan pembatas tembok yang tingginya 5 hingga 10 cm sehingga air hujan akan terkumpul.

Buatkan pula lubang-lubang resapan dengan kedalaman sekira 30 cm yang tersebar di taman, sebaiknya dibuat dekat tanaman sehingga tanaman tidak perlu disiram dan tidak kelebihan air pada musim hujan

Tertarik? Segera tangkap air hujan di sekitar rumah anda agar krisis air bersih dan banjir tak menjadi langganan. Lakukan segera agar dimusim kemarau tak kekurangan air, di musim hujan tak kelebihan air (banjir).(*)



Akses Keanekaragaman Hayati via Internet (Media Indonesia)
28 Juli 2012, 14:20
Filed under: Lingkungan Hidup | Tag: , ,

Oleh : Eric Senjaya (Praktisi Lingkungan Kab. Purwakarta)
Tanggal : Minggu, 23 Mei 2010

TAHUKAH Anda Satwa dan Fauna khas dari Jawa Barat? Untuk menjawabnya, biasanya kita mencari di buku, mendatangi dinas/instansi terkait, atau internet. Sepertinya banyak orang lebih memilih internet ketimbang buku karena relatif lebih cepat dan mudah dalam pencarian data. Kini, kita bisa memanfaatkan internet untuk mencari atau memperkaya data keanekaragaman hayati. Portal ini dikenal sebagai balai kliring.

Balai kliring lahir bukan tanpa sebab. Portal ini diharapkan bisa membuat keanekaragaman hayati menjadi perhatian pemerintah, penegak hukum, pengusaha, dan masyarakat. Pasalnya, keanekaragaman hayati kini tengah di ujung tanduk.

Ancaman datang silih berganti, mulai dari pertumbuhan penduduk yang menaikkan konsumsi sumber daya alam hayati maupun non hayati, pengabaian spesies dan ekosistem, kebijakan yang buruk, efek dari sistem perdagangan global, ketidakseimbangan distribusi sumber daya, dan kegagalan memberi nilai terhadap keanekaragaman hayati.

Selain itu, balai kliring sangat diperlukan karena informasi keanekaragaman hayati belum lengkap, akurat, up to date, dan tak ada standarisasi informasi keanekaragaman hayati. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa data dan informasi keanekaragaman hayati tersebar di berbagai pihak, akibatnya pengguna sulit untuk memperolehnya bahkan tidak mengetahui dimana data dan informasi tersebut berada.

Dengan adanya balai kliring, kita bisa menggali data dan informasi keanekaragaman hayati, seperti kebijakan internasional (Konvensi Keanekaragaman Hayati), kebijakan nasional (peraturan perundangan, Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020, status keanekaragaman hayati Indonesia (hutan, pesisir laut, pertanian, dan kawasan konservasi), database sumber daya genetik, serta flora dan fauna identitas provinsi dan kabupaten/kota.

Target yang ingin dicapai dari balai kliring ini diantaranya melakukan pemantauan implementasi Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati 2003-2020, terselenggaranya pertukaran informasi tentang konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan diantara pemangku kepentingan, tersedianya informasi tentang konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dan didiseminasikan kepada seluruh pemangku kepentingan.

Tak hanya itu, balai kliring pun sebagai implementasi PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kab/Kota, sub sub bidang keanekaragaman hayati nomor 6 : Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati, menyajikan informasi tentang profil keanekaragaman hayati (Prov. Jawa Barat dan Prov. DIY), mengidentifikasi sumber daya genetik tanaman obat, holtikultur dan tanaman hutan, dan menyusun status keanekaragaman hayati Indonesia (laporan nasional implementasi konvensi keanekaragaman hayati).

Belakangan gema balai kliring tak hanya ada di pemerintah pusat. Pemprov Jabar melalui Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat (BPLHD Jabar) pun tak ingin  ketinggalan dengan membuat portal balai kliring di website mereka.

Siapa saja yang terlibat dalam mengelola balai kliring? Tentu saja semua pemangku kepentingan seperti masyarakat adat, pelaku bisnis (industri farmasi), akademisi dan peneliti, LSM dan pemerintah. Sehingga, dengan adanya balai kliring ini bisa memfasilitasi peningkatan kualitas informasi dan teknologi dan bekerja sama antar pemangku kepentingan dalam meningkatkan upaya konservasi.(*)

http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzI5Ng==



Jangan Hiasi Ramadhan dengan Petasan!
28 Juli 2012, 14:07
Filed under: Hikmah | Tag: , ,

Kenapa sebagian orang mengisi Ramadhan dengan petasan? Bagi sebagian orang Ramadhan kurang lengkap rasanya tanpa kehadiran benda yang satu ini. Sambil ngabuburit, setelah berbuka puasa tatkala orang lain tengah salat tarawih atau tadarus, hingga waktu sahur pun masih terdengar bunyi ”binatang” yang satu ini. Puncaknya, malam menjelang idul fitri ketika orang lain bertakbir. Jalan-jalan dan trotor dibanjiri bekas petasan.

Saya menggoreskan coretan ini pukul 11 malam. Rasa mengantuk yang semakin tinggi lenyap begitu saja gara-gara suara petasan bersahut-sahutan serasa meledak di kepala, akhirnya saya melampiaskannya di tulisan ini.

Memang, bukan hal baru menyoal petasan. Di beberapa edisi Pikiran Rakyat tengah memberitakan “miniatur bom” ini. Baik korban akibat ledakannya, maupun razia yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja terhadap penjualnya. Sebenarnya, masalahnya hanya satu, ada pembelinya!

Padahal, Allah berfirman dalam Al Qur’an tentang keutamaan puasa dan pahalanya. Puasa bisa mengapus dosa seperti dalam dalam surat Al Azhab ayat 35,

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Tak hanya itu, Orang yang berpuasa senantiasa terhindar dari perbuatan maksiat yang dijelaskan dalam Surat Albaqarah ayat 183,

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Jelas bahwa Allah memerintahkan umatnya berpuasa selain karena keutamaan dan pahalanya, yang utama adalah menempa umatnya mampu menahan diri. Menahan diri dari lapar, haus, dan syahwat selama berpuasa seperti dijelaskan surat Al Baqarah ayat 187,

”Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”

Memang, membakar petasan tak tercantum dengan tegas, namun secara eksplisit sejatinya kita mampu menerjemahkan bahwa membakar petasan adalah salah satu cermin ketidakmampuan menahan diri. Kita tak mampu menahan diri untuk memboroskan uang untuk dibelikan petasan. Kita tak kuasa menahan diri untuk tak mengganggu orang lain beribadah atau beristirahat setetlah seharian berpuasa.

Rupanya, penjual petasan kini menjamur dimana-mana, sehingga mudah didapat. Malah, ketika penulis berjalan-jalan di sebuah departemen store terkemuka, ada petasan dijajakan disana. Biasanya, petasan dijumpai di pinggiran jalan atau pasar. Kini, distribusi petasan sudah merambah pertokoan elite. Mantap!

Lalu, bagaimana solusinya? Mudah. Jangan membeli! Seandainya kita tak membelinya, tentu para penjual takkan menjajakannya bukan? Bila kita tak membelinya, tentu orang lain bisa dengan khusyuk menjalani salat tarawih, tadarus, salat tahajud, beristirahat, serta menyantap sahur. Bagaimana bila diberi oleh teman? Ya… jangan dibakar!

Mari kita mulai dari Ramadhan kali ini untuk menghentikan budaya petasan ini,  mulai dari diri sendiri untuk mencegah keluarga kita membelinya.  Alangkah indah bila kita mengisi Ramadhan ini dengan mempelajari Al Quran dan Hadist untuk meningkatkan iman kita kepada Allah. Mengisi bulan diturunkannya Al Quran dan bulan yang terdapat malam Lailatul Qadar ini dengan hal yang lebih bermanfaat. Semoga Allah memberkati kita untuk senantiasa berada di jalanNya. Amin. (Eric Senjaya)



Menyulap Kantor lebih Ramah Lingkungan

Tahukah Anda bahwa cadangan minyak bumi di tanah air hanya tinggal 1,2 % dari cadangan minyak bumi dunia? Tahukah Anda, dari 230 juta penduduk Indonesia hanya 47 % yang memiliki akses air bersih? Ingatkan Anda dengan slogan-slogan ”Selamatkan air” seperti yang didengungkan di poster, koran, radio, dan televisi?

Kebanyakan orang mungkin tak mengindahkannya hal diatas lantaran mengira air dan sumber daya alam takkan pernah habis. Namun, ketika mata air, sungai, danau, dan sumur telah mengering, sumber daya alam telah tersedot habis, masihkan kita tak mempedulikan lingkungan?

Belakangan, perkembangan zaman dan teknologi yang kebablasan terkadang mengabaikan aspek lingkungan. Padahal, tanpa lingkungan yang sehat tentu takkan ada kehidupan di muka bumi. Sebab itu, dilakukan salah satu upaya untuk menghambat kerusakan lingkungan yaitu menjadikan kantor ramah lingkungan (eco office).

Kegiatan eco office merupakan tindak lanjut program kerjasama antara Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KNLH RI) dengan Japan International Cooperation (JICA) yang dilakukan sejak 2006. Tujuannya, mulai dari menciptakan lingkungan bersih, indah, dan nyaman, meningkatkan efektivitas dan efisiensi, hingga terciptanya good environment governance.

Sementara itu, berdasarkan catatan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat (BPLHD Jabar), program Eco Office merupakan program yang melibatkan setiap personil kantor untuk berperan aktif dalam kegiatan mewujudkan lingkungan kantor yang bersih dan efisien dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan energi, serta berperilaku yang berpihak pada upaya pelestarian lingkungan secara berkelanjutan.

Lalu, bagaimana menerapkan eco office di kantor Anda? Mudah. Langkah pertama, menghemat listrik (termasuk memasang pembangkit listrik tenaga surya). Kemudian, yang tak kalah penting adalah menghemat air. Diteruskan dengan pembuatan Biopori atau Lubang Resapan Biopori (LRB). Terakhir, Pengomposan Sampah (Composting).

Untuk memudahkan penerapannya, kita bisa mengadopsi penerapan eco office di KNLH RI. Di sana, diterapkan beberapa langkah jitu untuk menghemat listrik. Mulai dari mematikan lampu dan komputer yang tak digunakan, menggunakan lampu hemat energi (bukan bohlam lampu pijar), mencabut steker listrik barang elektronik yang tidak digunakan, hingga menyetting temperatur AC pada suhu 25 derajat celsius.

Untuk menghemat air, menggunakan air dari sumur resapan untuk menyiram tanaman dan mencuci kendaraan, serta membuat lubang resapan biopori. Tak hanya itu, penggunaan air dari Perusahaan Air Minum sebisa mungkin dikurangi dengan menggunakan air yang berasal dari pengolahan limbah domestik menjadi limbah cair.

Selain itu, hemat pula penggunaan kertas. Menghemat kertas berarti meminimalisir pohon yang harus ditebang. Caranya, bisa dengan menggunakan kertas secara bolak-balik, atau mengganti kertas untuk surat dengan surat elektronik (e-mail).

Untuk pengomposan sampah, bisa diawali dengan pemilahan sampah kantor antara sampah organik dengan anorganik. Hasil pemilahan sampah organik itu kemudian dimasukan dalam mesin pengolah sampah, diperoleh hasil akhir adalah kompos. Kompos yang dihasilkan digunakan untuk memupuk tanaman di sekitar kantor. Efektif bukan?

Eco Office ini seyogianya dilakukan mulai saat ini. Sebab, target KNLH RI pada tahun 2010 adalah efisiensi penggunaan energi sebesar 10%, penggunaan air PAM sebesar 5%, penggunaan kertas sebesar 5%, serta penurunan jumlah timbulan sampah sebesar 5%.

Sudahkah kita menerapkan kantor yang ramah lingkungan? Sudahkah kita menyadari berapa lembar kertas yang kita buang di kantor dan Berapa banyak AC dan lampu yang menyala tanpa henti di kantor? Bila belum, mari kita lakukan dari sekarang sebagai bukti kecintaan kita pada lingkungan dan kehidupan. (Eric Senjaya)



Menerapkan Pelajaran Fisika, Kimia, dan Biologi untuk Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Industri
28 Juli 2012, 13:43
Filed under: Uncategorized

Bagi sebagian masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan industri, namanya mungkin tak asing. Seperangkat instrumen yang dikenal sebagai Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ini memang cukup populer. Pasalnya, berdirinya sebuah pabrik biasanya dibarengi dengan pembangunan IPAL agar lebih ramah lingkungan. Namun, kepopuleran IPAL tak senada dengan kepopuleran konsepnya. Kata orang mah, ”lieurrr, nu penting mah jalan we lah teu kudu rieut-rieut nyieun.”

Padahal, bila ditelisik lebih dalam konsep IPAL ternyata mudah dipahami, IPAL tak lain adalah penerapan ilmu fisika, kimia, dan biologi yang sudah kita kenal di bangku sekolah. Konsep IPAL yang terdiri atas equalisasi, koagulasi, aerasi, dan filtrasi ini didalamnya ada konsep fisika (koagulasi dan filtrasi), kimia (koagulasi), serta biologi (aerasi).

Sebelum masuk equalisasi, biasanya limbah cair masuk ke dalam inlet equalisasi. Inlet ini merupakan proses awal pengolahan limbah, dimana limbah cair disaring untuk memisahkan antara air dengan serat kasar yang terkandung di dalamnya. Air limbah hasil penyaringan awal ini kemudian diukur tingkat keasamannya (PH), belerang (Sulfur), Chemical Oxigen Demand (COD), warna, dan Sulfur trioksida (SO3).

Kemudian, air limbah masuk ke equalisasi. Sesuai namanya, equal (sama), adalah proses homogenisasi atau penyeragaman perbedaan karakteristik limbah dari berbagai proses. Tujuannya, untuk menyeragamkan konsentrasi dan debit aliran air. Di equalisasi ini, kembali diukur PH, warna, COD, SO3, dan tinggi equalisasi (level).

Air limbah keluaran equalisasi masuk ke dalam koagulasi. Koagulasi merupakan pengolahan secara kimia untuk menggumpalkan zat-zat tersuspensi pada limbah. Bahan kimia yang digunakan adalah Asam Sulfat, NPC, Nalco, dan Polymer Anionik. Fungsinya, memisahkan kandungan zat-zat yang tersuspensi (flok) agar proses penjernihan berjalan lebih mudah.

Parameter yang diukur di tahapan ini adalah Debit, SBN SPT b131 ( jartest & koagulasi), Bj kaustik soda in koagulasi, H2SO4 pada kanal in dan out koagulasi, pH, dan warna. Baku mutu untuk PH adalah 9 hingga 11, sedangkan untuk warna kurang dari 2000.

Flok-flok hasil koagulasi kemudian ditampung dalam wadah seperti bak raksasa. Di sinilah fisika berperan. Dalam teori gravitasi, benda selalu jatuh ke permukaan bumi. Nah, flok yang bermassa berat yang ada di bak tentu akan mengendap, flok yang jernih berada diatasnya. Sementara itu, flok-flok yang lain terus memenuhi bak hingga meluap, maka air jernih lah yang ada dipermukaan atas. Proses ini dikenal dengan primary treatment.

Air limbah keluaran primary treatment masuk ke bak lamela (pra aerasi). Pra aerasi berguna untuk mengendapkan kembali air limbah dari primary treatment agar tak ada endapan yang tersisa. Kembali diukur parameter pH, warna, Suspended solid, SO3, PO4, dan NH4+.

Setelah air limbah dirasa cukup jernih dan memenuhi baku mutu, dialirkan dalam aerasi. Konsep Biologi yang digunakan di sini. Aerasi adalah mengolah limbah dengan menggunakan bantuan mikroorganisme. Setelah itu, limbah di aduk menggunakan mixer untuk menjaga kebutuhan oksigen agar mikroorganisme yang dimasukkan bertahan hidup. Proses ini menggunakan lumpur aktif. Kemudian, mengontakkan lumpur aktif dengan udara Luar dengan bantuan alat berupa aerator dengan harapan akan terjadi proses oksidasi antara zat organik dengan oksigen yang ada di udara bebas.

Parameter yang diukur di Inlet aerasi adalah pH (antara 8 hingga 10), SO3, COD (≤1200), warna, dan sulfida. Sedangkan yang diukur di Aerasi adalah pH (antara 6 hingga 9), NH4, SV 30menit (900-1000), SVI (100-250), DO (2-4), temperature (25-40), tinggi aerasi, (265-275/295-305), MLSS (4000-7000), dan F/M.

Langkah selanjutnya, memisahkan lumpur aktif yang berasal dari aerasi tadi dengan air. Proses ini berjalan hingga didapat parameter yang sesuai baku mutu. Parameter PH (6-9), SS(<40), COD (<125), dan warna (<180).

Lalu, langkah terakhir adalah disaring (filtrasi). Proses fisika ini dilakukan dengan memisahkan padatan-padatan yang masih terkandung dalam air buangan dengan memanfaatkan media pasir silika dan carbon filter. Hasil keluaran dari filter ini diharapkan sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan dan dari hasil keluaran dapat di buang kesungai.

Untuk memeriksa apakah keluaran filter aman atau tidaknya dibuang ke sungai, bisa dibuat kolam ikan sebelum air dibuang. Bila air tetap hidup di air hasil IPAL, berarti aman bila dibuang ke sungai. Bagaimana, mudah bukan? Selamat mencoba. (Eric Senjaya)



Mengakses Keanekaragaman Hayati via Internet
28 Juli 2012, 13:40
Filed under: Uncategorized

Tahukan Anda Satwa dan Fauna khas dari Jawa Barat? Untuk menjawabnya, biasanya kita mencari di buku, mendatangi dinas/instansi terkait, atau internet. Sepertinya banyak orang lebih memilih internet ketimbang buku karena relatif lebih cepat dan mudah dalam pencarian data. Kini, kita bisa memanfaatkan internet untuk mencari atau memperkaya data keanekaragaman hayati. Portal ini dikenal sebagai balai kliring.

Balai kliring lahir bukan tanpa sebab. Portal ini diharapkan bisa membuat keanekaragaman hayati menjadi perhatian pemerintah, penegak hukum, pengusaha, dan masyarakat. Pasalnya, keanekaragaman hayati kini tengah di ujung tanduk.

Ancaman datang silih berganti, mulai dari pertumbuhan penduduk yang menaikkan konsumsi sumber daya alam hayati maupun non hayati, pengabaian spesies dan ekosistem, kebijakan yang buruk, efek dari sistem perdagangan global, ketidakseimbangan distribusi sumber daya, dan kegagalan memberi nilai terhadap keanekaragaman hayati.

Selain itu, balai kliring sangat diperlukan karena informasi keanekaragaman hayati belum lengkap, akurat, up to date, dan tak ada standarisasi informasi keanekaragaman hayati. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa data dan informasi keanekaragaman hayati tersebar di berbagai pihak, akibatnya pengguna sulit untuk memperolehnya bahkan tidak mengetahui dimana data dan informasi tersebut berada.

Dengan adanya balai kliring, kita bisa menggali data dan informasi keanekaragaman hayati, seperti kebijakan internasional (Konvensi Keanekaragaman Hayati), kebijakan nasional (peraturan perundangan, Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020, status keanekaragaman hayati Indonesia (hutan, pesisir laut, pertanian, dan kawasan konservasi), database sumber daya genetik, serta flora dan fauna identitas provinsi dan kabupaten/kota.

Target yang ingin dicapai dari balai kliring ini diantaranya melakukan pemantauan implementasi Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati 2003-2020, terselenggaranya pertukaran informasi tentang konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan diantara pemangku kepentingan, tersedianya informasi tentang konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dan didiseminasikan kepada seluruh pemangku kepentingan.

Tak hanya itu, balai kliring pun sebagai implementasi PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kab/Kota, sub sub bidang keanekaragaman hayati nomor 6 : Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati, menyajikan informasi tentang profil keanekaragaman hayati (Prov. Jawa Barat dan Prov. DIY), mengidentifikasi sumber daya genetik tanaman obat, holtikultur dan tanaman hutan, dan menyusun status keanekaragaman hayati Indonesia (laporan nasional implementasi konvensi keanekaragaman hayati).

Belakangan gema balai kliring tak hanya ada di pemerintah pusat. Pemprov Jabar melalui Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat (BPLHD Jabar) pun tak ingin  ketinggalan dengan membuat portal balai kliring di website mereka.

Siapa saja yang terlibat dalam mengelola balai kliring? Tentu saja semua pemangku kepentingan seperti masyarakat adat, pelaku bisnis (industri farmasi), akademisi dan peneliti, LSM dan pemerintah. Sehingga, dengan adanya balai kliring ini bisa memfasilitasi peningkatan kualitas informasi dan teknologi dan bekerja sama antar pemangku kepentingan dalam meningkatkan upaya konservasi.

Nah, bagi Anda yang memerlukan atau memiliki data keanekaragaman hayati nasional, bisa diakses di http://bk.menlh.go.id sedangkan untuk data keanekaragaman hayati jawa barat di http://clearinghouse.bplhdjabar.go.id. (Eric Senjaya)



Mewujudkan Bandung Bersih dan Hijau dengan Kompos

Apa yang telintas di benak anda ketika mendengar kata ”Sampah”? Ya, konotasi sampah adalah sesuatu yang kotor, bau, dan menjijikan. Apalagi di kota besar seperti Bandung dengan perkembangan yang meroket seperti mall, jumlah penduduk, dan lain sebagainya, tentu salah satu dampaknya adalah sampah.

Sebagai catatan, sampah di kota bandung per hari tak kurang dari 6900 meter kubik.  Dengan rincian, sampah yang berasal dari rumah tangga 4.500 m3/hari, sampah pasar 600 m3/hari, kawasan komersial 300 m3/hari, kawasan non komersial 300 m3/hari, kawasan industri 750 m3/hari, serta sampah jalanan 450 m3/hari.

Menyikapi dahsyatnya permasalahan sampah ini, apa yang bisa dilakukan urangBandung untuk mengurangi volume sampah?

Salah satu teknologi yang kini tengah marak adalah dengan pengomposan sampah organik. Teknik pengomposan ini dirasa paling tepat karena berdasarkan hasil studi komposisi dan karakteristik yang dilakukan BPPT, komposisi sampah terbanyak adalah sampah organik (73,98%) sedangkan sisanya adalah bahan anorganik.

Teknologi ini bukan barang baru, sejak 1986 sudah diterapkan di Indonesia namun hasilnya baru menginjak angka 1,8 % dari total sampah yang ada. Pengomposan sampah organik pun baru dilakukan dalam tahap skala kecil melalui Unit Daur Ulang dan Produksi Kompos (UDPK) yang ada di TPA. Artinya, menggiatkannya secara massal di setiap rumah untuk meminimalisir sampah rumah tangga adalah hal yang tak bisa ditawar.

Berdasarkan catatan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah provinsi Jawa barat (BPLHD jabar), pengomposan adalah salah cara untuk mengolah bahan padatan organik menjadi kompos. Pengomposan adalah proses degradasi materi organik menjadi stabil melalui reaksi biologis mikroorganisme dalam kondisi yang terkendali.

Tahapannya dimulai dari memilah sampah organik dan anorganik. Cara memilahnya cukup mudah. Sampah organik mudah terurai menjadi tanah seperti sisa-sisa sayuran. Pemilahan harus dilakukan dengan teliti karena akan menentukan kelancaran proses dan mutu kompos yang dihasilkan. Setelah sampah dipilah, perkecil ukuran sampah organik tadi agar cepat didekomposisi menjadi kompos.

Bahan organik yang telah melewati tahap pemilahan dan pengecilan ukuran kemudian disusun menjadi tumpukan. Biasanya, desain penumpukan adalah desain memanjang dengan panjang 12 meter, lebar 2 meter, dan tinggi 1,75 meter. Jangan lupa memberi terowongan bambu (windrow) di setiap tumpukan agar tersedia udara di dalam tumpukan.

 Kemudian, balikkan sampah yang telah ditumpuk. Selain untuk membuang panas yang berlebihan, pembalikkan ini berfungsi memasukkan udara ke dalam tumpukan, meratakan proses pelapukan di setiap bagian tumpukan, meratakan pemberian air, serta membantu penghancuran bahan menjadi partikel kecil-kecil.

Setelah tahapan pembalikan, diperlukan pula penyiraman. Untuk memeriksa apakah perlu disiram atau tidak, caranya dengan memeras segenggam bahan dari bagian dalam tumpukan. Bila pada saat diperas tidak keluar air, maka tumpukan sampah harus disiram, sedangkan bila sebelum diperas sudah keluar air, tak perlu disiram, cukup dilakukan pembalikan.

Proses tadi berjalan selama kurang lebih sebulan, suhu tumpukan akan semakin menurun hingga mendekati suhu ruangan. Pada saat itu tumpukan telah lapuk, berwarna coklat tua atau kehitaman. Kompos masuk pada tahap pematangan selama 14 hari.

Seusai pematangan, biasanya dilakukan penyaringan untuk memperoleh kompos dengan ukuran yang diinginkan sembari memisahkan bahan-bahan yang tidak dapat terurai yang lolos dari proses pemilahan awal. Bahan yang belum terkomposkan dikembalikan ke dalam tumpukan yang baru, sedangkan bahan yang tidak terkomposkan dibuang sebagai residu.

Sekarang, kompos siap digunakan. Bisa dipakai untuk menguatkan struktur lahan kritis, menggemburkan tanah pertanian dan taman, sebagai media tanam, atau dijual untuk menambah penghasilan.

Cukup mudah dan bermanfaat, bukan? Sudah waktunya menerapkan teknologi pengolahan sampah. Dengan mengurangi sampah yang dibuang dan menjadikannya kompos tentu akan mempercepat Bandung menjadi Green and Clean. Ingat, wariskan Kota Bandung yang hijau dan bersih kepada anak cucu, jangan wariskan sampah! (Eric Senjaya)



Memanfaatkan Air Hujan dengan Sumur Resapan

”Aneh nya di kota mah. Mun usum halodo hese cai, warga ngalantri mareuli cai. Ari pas usum hujan, kalahkah banjir, warga ngarungsi. Kunaon ieu teh?”

Ya. Kondisi seperti inilah yang kerap terjadi di Kota besar. Tak hanya di Bandung, keadaan serupa terjadi di beberapa kota besar seperti Jakarta dan kota lainnya. Salah satu penyebab, kurangnya area resapan air.

Di musim penghujan, tanah di kota yang hamper seluruhnya dilapisi semen dan aspal membuat air hujan tak bisa merembes dengan lancar ke dalam tanah. Kota tak ubahnya seperti bak penampung air raksasa. Kondisi ini diperparah dengan minimnya daerah resapan air seperti taman dan ruang terbuka hijau.

Tak selesai sampai di situ. Masalah lain muncul di musim kemarau. Penyerapan air yang kurang maksimal di musim hujan tadi membuat cadangan air tanah pun menjadi sedikit. Alhasil, warga sukar memperoleh air tanah di musim kemarau. Dalam kondisi ekstrem, terkadang di musim hujan pun masih sulit mendapat air bersih. Bila ini dibiarkan, tentu kita mengalami krisis air bersih yang tanda-tandanya belakangan sudah terasa.

Sebab itu, pemerintah melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI mendengungkan Gerakan Sumur Resapan. Gerakan yang terdiri dari membuat parit resapan, area resapan, dan sumur resapan ini cukup mudah diterapkan di perumahan warga kota.

Sumur Resapan adalah sistem resapan buatan yang bisa menampung air hujan baik berupa sumur, parit maupun taman resapan. Cara membuatnya dibedakan menurut kondisi rumah dan lingkungannya. Yaitu sumur resapan untuk rumah bertalang air, rumah tak bertalang air, dan sumur resapan untuk area terbuka atau taman.

Untuk rumah bertalang air, pembuatan sumur resapan bisa dilakukan di lokasi yang berjarak satu meter atau lebih dari pondasi rumah dan dekat dengan lokasi talang pembuangan air hujan. Setelah ditentukan lokasi yang tepat, buat sumur dengan diameter 80 hingga 100 cm sedalam 1,5 meter tetapi jangan melebihi muka air tanah.

Untuk memperkuat dinding tanah, masukkan besi beton tiga buah dengan panjang masing-masing 50 cm. Jika tidak ada besi beton, dapat digunakan batu bata.

Air hujan yang keluar dari talang air dimasukkan ke dalam sumur resapan melalui pipa pemasukan. Tak ketinggalan, pada sumur resapan diberi pipa pembuangan ke selokan atau drainase jalan agar air tidak meluap. Ketinggian pipa pembuangan harus lebih tinggi dari drainase jalan itu.

Kemudian, lubang sumur resapan diisi batu koral setebal 15 cm dan bagian atas sumur resapan ditutup dengan plat beton. Di atas plat beton penutup ini dapat dimodifikasi menjadi taman atau dipasang pot-pot tanaman agar tampak cantik.

Sementara itu, bila rumah anda tak bertalang air, tak perlu khawatir. Bisa digunakan tambahan parit dengan lubang biopori dan bak kontrol sebelum air masuk ke sumur resapan.

Caranya, Anda bisa membuat parit sepanjang curahan air hujan dari atap dengan lebar 20 hingga 30 cm dengan kedalaman 10 hingga 15 cm. Di dalam parit, buat sepuluh lubang resapan biopori dengan jarak merata sepanjang parit. Lubang resapan biopori dibuat menggunakan bor biopori sedalam kurang lebih 1,5 meter.

Apabila jarak parit pendek sehingga jumlah lubang resapan biopori tidak terpenuhi, maka curahan air hujan dari atap dapat dihubungkan dengan sumur resapan yang mempunyai bak kontrol sebagai penyaring endapan. Lubang resapan berpori tersebut ditutup dengan saringan sebelum ditimbun batu koral.

Terakhir, bila dirumah anda memiliki areal terbuka atau taman, pembuatan area resapan pun bisa dilakukan. Caranya, di halaman atau taman rumah dibuatkan pembatas tembok yang tingginya 5 hingga 10 cm sehingga air hujan akan terkumpul.

Buatkan pula lubang-lubang resapan dengan kedalaman sekira 30 cm yang tersebar di taman, sebaiknya dibuat dekat tanaman sehingga tanaman tidak perlu disiram dan tidak kelebihan air pada musim hujan

Tertarik? Segera tangkap air hujan di sekitar rumah anda agar krisis air bersih dan banjir tak menjadi langganan. Lakukan segera agar dimusim kemarau tak kekurangan air, di musim hujan tak kelebihan air (banjir). Selamat mencoba! (Eric Senjaya)